cerita legenda
Pernah ke Bledug
Kuwu? Situs Legenda Ular Raksasa
Pernah ke Bledug Kuwu? Situs Legenda Ular Raksasa
Jika Anda melintas di Purwodadi, ada situs kuno yang nyaris terlupakan.
Maka mampir saja jika ingin mengetahui jejak sejarah. Wisata alam ini
sungguh aneh, ajaib dan menakjubkan. Bledug Kuwu namanya. Konon,
kubangan tanah yang menyemburkan lumpur di Desa Kuwu, Kecamatan
Kradenan, Kabupaten Grobogan itu adalah jejak ular raksasa bernama Jaka
Linglung. Dia usai membunuh Bajul Putih di laut selatan. Usai
pertarungan, ia perjalanan pulang melalui jalur bawah tanah dan kubangan
itu dipercaya sebagai bekas tubuh Jaka Linglung yang keluar dari dalam
perut bumi.

Menurut legenda masyarakat sekitar, fenomena alam Bledug Kuwu bermula
pada masa kerajaan Medang Kamulan sekitar abad ke 8. Sebagaimana
disebutkan seorang pemandu sekaligus juru kunci Danang Amono Putro (45).
“Saya sering menjelaskan cerita itu. Di hari biasa, setidaknya sekitar
200-an dan hari libur bisa mencapai 700 pengunjung,” papar pria warga
Kuwu RT 06/RW04 Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan kepada LawangSewu
Post, belum lama ini.
Rata-rata para wisatawan tertarik menyambangi tempat tersebut karena
ajaib tapi nyata. “Tak jarang juga penasaran terhadap peninggalan cerita
legenda rakyat yang ada di zaman kerajaan Medang Kamulan itu,” katanya.
Secara singkat Danang mengulas, dahulu di kerajaan Medang Kamulan
dikuasai oleh seorang raja bernama Prabu Dewata Cengkar. Dia adalah
sosok raja yang sombong, serakah dan ditakuti. Ia juga dikenal sebagai
raja yang tidak bisa mati, sehingga tidak pernah kalah kala bertarung
melawan musuh-musuhnya. “Ia juga sering menarik upeti kepada rakyat
semaunya. Jika ada yang membangkang, langsung dibunuh,” ungkapnya.
Apabila ada prajurit yang tidak taat, langsung dipecat hingga dihukum
mati. Konon, Dewata Cengkar mempunyai ritual meminum darah manusia.
“Kesaktian raja itu menyebabkan dirinya tidak bisa terbunuh atau mati,”
tambahnya.
Namun akhirnya datanglah seorang tokoh ksatria dari negeri Tibet bernama
Aji Saka. Di tangan Aji Saka lah Dewata Cengkar kuwalahan soal
kadigdayan. Terjadi pertarungan hingga akhirnya Dewata Cengkar kalah.
Kendati demikian, Lanjut Danang, pertarungan itu tidak menyebabkan raja
tersebut terbunuh. "Kalah bertarung, Cengkar kemudian melarikan diri ke
laut selatan dan malihrupa menjadi bajul putih atau buaya putih. “Aji
Saka kemudian mengutus anaknya bernama Jaka Linglung, untuk mengejarnya
ke laut selatan,” lanjut Danang.
Jaka Linglung sendiri merupakan lelaki yang sakti mandraguna, namun ia
mempunyai fisik buruk rupa dan mengerikan. Kepercayaan masyarakat
sekitar, Jaka Linglung digambarkan sebagai ular naga raksasa. “Sebelum
berangkat ke laut selatan, Jaka diberi pesan oleh ayahnya. Jika menang
melawan Bajul Putih, ia tidak diperbolehkan pulang melalui jalur darat,
melainkan harus melalui perut bumi,” kata Danang.
Mengapa lewat jalur bawah tanah? Danang menjelaskan, fisik Jaka Linglung
supaya tidak dilihat oleh masyarakat, sebab jika melihatnya,
dikhawatirkan akan menjadi bahan pergunjingan masyarakat. Terlebih
fisiknya yang menakutkan. “Bajul Putih pun akhirnya berhasil dibunuh
oleh Jaka Linglung dalam pertarungan di laut selatan. Jaka pun kemudian
pulang sebagaimana pesan ayahnya, yakni melalui jalur bawah tanah.
Begitu keluar, ia menyembul di daratan Desa Kuwu,” terangnya.

Kubangan lubang tanah berdiameter ± 650 meter yang menyemburkan lumpur
di lahan tanah sekitar 45 hektar di Desa Kuwu inilah yang kemudian
dipercaya sebagai tapak tilas makhluk mengerikan berwujud ular naga
raksasa yang heroik tersebut. “Itulah sebab mengapa masyarakat sekitar
percaya bahwa lubang di Bledug Kuwu itu terhubung dengan laut selatan,
sehingga air semburan itu berasa asin,” tambah Danang.
Tumpahan air asin dari letupan-letupan lumpur tersebut oleh masyarakat
dijadikan tempat pembuatan garam yang dikenal “Bleng”. Air dialirkan
melalui parit-parit menjauh dari kubangan. Beberapa peneliti yang pernah
melakukan penelitian di tempat tersebut menyebut bahwa semburan lumpur
yang meluber sekitar 10 meter di sekeliling kubangan terdapat kandungan
gas metana, gas CO2, H2S dan belerang.
Dari ceruk-ceruk itulah petani garam di Desa Kuwu telah ratusan tahun
mengolah garam, diperkirakan sejak abad 17. “Petani garam yang membuat
parit dan mengalirkan di pinggir kubangan itu harus telanjang atau tidak
berpakaian. Karena mitosnya, jika tidak telanjang akan tenggelam dalam
lumpur,” pungkasnya.
Letupan terbesar Bledug Kuwu dinamai Joko Tuwo. Dia meledak secara
periodik sekira 15 detik sekali dengan bunyi “Bledug” seperti namanya
kini. Lemparan lumpur sekira 5-10 meter ke udara dan jatuh ke tanah
sekira 10 meter. Sementara letupan terkecil disebut Roro Denok, bunyinya
lebih lemah. Kapasitas lemparan ke udara hanya 1-2 meter ke udara.
Frekuensi letusan Joko Tuwo 4-5 kali per menit. Sementara letusan kecil
mencapai 10 kali lebih per menit. (Abdul Mughis) .
sumber : goole.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar