Dalam pertemuan di Eropa itu, para paranormal umumnya tertarik pada
fakta bahwa legenda itu berkembang di kalangan masyarakat sepanjang
selatan Indonesia, bukan hanya pantai selatan Jawa. Suatu kawasan yang
sangat panjang. Itu pula yang menjadikan peneliti “paleotsunami”
(tsunami purba) itu penasaran pada legenda tersebut.
Menurut Eko, kawasan tempat mukim masyarakat yang mewarisi legenda Nyi
Roro Kidul itu, yang dikenal sebagai kawasan pantai selatan, berhadapan
dengan Samudera Indonesia, yaitu daerah zona subduksi lempeng bumi.
Subduksi ialah proses menghujamnya lempeng Benua yang bermassa lebih
besar ke lempeng benua yang ada di bawahnya. Proses subduksi yang
berlangsung terus-menerus itu yang menciptakan negeri kepulauan
Indonesia beserta kesuburannya. Tapi, proses itu pula yang memberikan
berbagai bencana, letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami.
Dalam kaitan itu, Eko memperlihatkan lukisan Nyi Roro Kidul yang merekam
legenda tersebut. Di sana digambarkan seorang ratu yang mengendalikan
kereta kuda dalam balutan ombak besar yang bergulung-gulung.
“Jangan-jangan legenda itu sebenarnya pesan bahwa pernah ada tsunami di
sana?” katanya.
Itu dikuatkan dengan legenda ratu pantai selatan tersebut yang digambarkan sering
meminta tumbal dengan mengirimkan ombak besar jauh ke daratan.
Kemudian, sebagian korbannya dikirim kembali ke darat sebagai pesan dari
Nyi Roro Kidul. Persis kejadian tsunami.
Bagi Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Herry Harjono, mengaitkan
legenda Nyi Roro Kidul dengan sejarah tsunami merupakan ide “aneh” yang
berpotensi untuk mengungkap sejarah kejadian tsunami. Dia mengatakan,
bantuan ilmuwan sosial untuk mengungkap asal-muasal legenda itu juga
diyakini bisa membantu penelitian sejarah kejadian tsunami.
“Pikiran yang sekarang berkembang ialah, boleh jadi pernah ada kejadian
besar yang sangat membekas masyarakat jaman dahulu. Kejadian itu terekam
dalam legenda Nyi Roro Kidul,” katanya dalam sebuah workshop
paleotsunami, di Bandung. Persoalan yang ingin diungkap dalam
paleotsunami, antara lain sejarah terjadinya tsunami dan berapa
besarannya. Untuk itu, menurut Herry, ada pertanyaan yang ingin
diungkap, “Kapan legenda itu mulai berkembang?”
Kisah seperti itu, misalnya, akan memperkuat hasil penelitian geologi
yang mencari jejak tsunami purba. Misalnya mengenai bukti gempa dan
endapan tsunami yang terjadi pada 400 tahun lalu di Cilacap dan
Pangandaran yang diyakini jauh lebih besar ketimbang yang terjadi pada
2006.
Dalam sebuah poster yang dipamerkan di workshop disebutkan, empat
kandidat endapan tsunami ditemukan di tebing sungai Cimbulan
Pangandaran. Salah satunya berupa lapisan pasir tebal hingga 20 cm yang diendapkan di atas lumpur mangrove dan ditutupi endapan banjir.
Pasir itu mengandung cangkang “fora minifera” yang biasanya hidup di
laut lepas. Analisis pentarikhan umur terhadap dua sampel yang diambil
dari dua tempat berbeda menunjukkan lapisan pasir tsunami itu diendapkan
400 tahun lalu.
“Mungkinkah kejadian tsunami ini terkait dengan asal mula legenda Nyi
Roro Kidul?” demikian pertanyaan dalam buku berjudul “Selamat dari
Bencana Tsunami” yang berkisah tentang orang-orang yang sintas dari
tsunami Aceh dan Pangandaran. Buku itu juga membahas sejumlah cerita
tradisional yang diyakini terkait dengan peristiwa tsunami.
Bagi Herry, dukung-mendukung ilmuwan sosial dan peneliti geologi itu
suatu saat akan memberikan hasil yang bisa memberikan data untuk
menjawab pertanyaan “seberapa sering tsunami terjadi di pantai selatan?”
Jawaban atas pertanyaan itu akan memberikan banyak konsekwensi,
setidaknya bisa mengubah pandangan hidup masyarakat di kawasan itu bahwa
mereka hidup dalam daerah yang rawan tsunami?
Kalau itu tercipta, maka masyarakat akan mudah diajak untuk hidup akrab
dengan tsunami, mudah mengajak mereka untuk selalu bersiaga menghadapi
bencana, hingga mudah untuk mengajari mereka untuk melakukan tindakan
penyelamatan diri dengan benar ketika bencana itu akhirnya tiba.
Pengetahuan lokal
Bagi Eko, memperlakukan legenda sebagai pesan dari nenek moyang mengenai
tsunami juga mengangkat kembali harkat legenda itu dari berbagai
bungkus yang selama ini menutupinya.
Soalnya, kata dia, banyak cerita turun-temurun di sejumlah daerah, yang
jika dicermati, bisa dicocokkan dengan kejadian tsunami. Dari
perjalanannya ke sejumlah daerah yang pernah dilanda tsunami, dia
mendapati cerita yang sebenarnya merupakan pengetahuan lokal untuk
menyelamatkan diri dari bencana terjangan gelombang besar.
Dia menemukan itu mulai dari Majene, Lombok, Mentawai, dan Simeulue,
walaupun yang masih mengingat pengetahuan tradisional itu sebagai kiat
untuk menyelamatkan diri dari terjangan tsunami itu hanya di Simeuleu.
Pengetahuan itu disebut oleh masyarakat setempat sebagai “smong”.
Bagi peneliti tsunami, Simeulue, pulau di Barat daya Aceh, merupakan
laboratorium sempurna mengenai tsunami. Di sana, peneliti mendapati
banyak endapan tsunami, catatan gempanya lengkap, dan ada pesan nenek
moyang tentang tsunami yang terus dipatuhi masyarakatnya.
Dalam buku “Selamat dari Bencana Tsunami” disebutkan bahwa Pulau
Simeulue berada paling dekat dengan pusat gempa bumi 26 Desember 2004.
Namun hanya tujuh orang yang meninggal akibat sapuan gelombang tsunami.
Itu berkat “smong”.
“Smong” memuat pesan sederhana, namun masih dipatuhi warga Simeulue.
Pesan itu berbunyi: “Jika terjadi gempa bumi kuat diikuti oleh surutnya
air laut, segeralah lari ke gunung karena air laut akan naik”.
Pengetahuan tradisional itu muncul setelah tsunami 1907. Disebutkan,
seringnya tsunami sebelum 1907 di pulau itu memiliki Andil bagi
bersemainya pengetahuan tersebut. Catatan sejarah dan penelitian geologi
menunjukkan pulau itu terlanda tsunami pada 1797, 1861, dan 1907.
Menurut dia, pengetahuan serupa juga dimiliki masyarakat Mentawai,
Sumetera Utara. Banyak orang di pulau itu yang masih hafal pengetahuan
yang diturunkan dalam bentuk syair. Namun, syair itu umumnya tidak lagi
dipahami sebagai warisan untuk menghadapi tsunami. Itu karena kata
“teteu”, judul syair tersebut, diartikan sebagai “kakek”, walau bisa
juga diartikan sebagai “gempa bumi”.
Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, syair itu berbunyi: Teteu, sang
tupai bernyanyi/Teteu, suara gemuruh datang dari atas bukit-bukit/Teteu,
ada tanah longsor dan kehancuran/Teteu dari ruh kerang laut sedang
marah/karena pohon baiko telah ditebang/Burung kuliak
bernyanyi/Ayam-ayam berlarian/Karena di sana teteu telah
datang/Orang-orang berlarian.
Di sana, kata “teteu” lebih diartikan sebagai “kakek”, sehingga maknanya
jauh dari bencana. Sedangkan, jika “teteu” diganti dengan “gempa bumi”,
maknanya akan lebih kuat.
Terbungkusnya pesan inti yang terkandung dalam pengetahuan lokal di
Mentawai itu disebut sebagai kecenderungan yang ada di banyak daerah.
Salah satu faktornya, tidak ada catatan yang bisa diwariskan oleh
generasi yang lahir jauh hari setelah tsunami terjadi.
Apalagi, tsunami raksasa umumnya terjadi ratusan tahun sekali, sehingga
cerita turun-temurun yang diwariskan berubah menjadi legenda yang
penafsirannya bisa berbeda dari maksud semula. Ketika tsunami raksasa
datang suatu kali, tidak ada lagi orang yang pernah mengalaminya,
sehingga syair turun-temurun itu diturunkan sekadar warisan.
Menurut Eko, mengaitkan pengetahuan lokal dengan penelitian tsunami
purba merupakan kesengajaan yang dilakukannya. Soalnya, selama ini
catatan sejarah yang dimiliki Indonesia sangat pendek, dan tidak ada
catatan yang menyebut gelombang raksasa yang terjadi 400 tahun lalu,
misalnya. Yang banyak ditemukan justru cerita turun-temurun yang bisa
ditafsirkan sebagai pesan tentang tsunami.
Dengan mengumpulkan dan mempelajari pengetahuan tradisional, diharapkan
membantu analisis kejadian tsunami di masa lalu. Mengetahui tsunami masa
lalu, katanya, akan membantu masyarakat sekitar untuk bereaksi secara
tepat ketika menghadapi bencana serupa pada masa datang.
Eko mengatakan, penelitian tsunami di Meulaboh dan Thailand selatan
menghasilkan temuan yang mengejutkan. Temuan yang dipublikasikan secara
bersamaan dalam terbitan jurnal ilmiah internasional “Nature” edisi
Oktober itu menunjukkan bahwa tsunami raksasa serupa dengan yang terjadi
pada 2004 pernah terjadi di Aceh beberapa ratus tahun yang lalu.
Seandainya temuan itu sudah terungkap sebelum tahun 2004, katanya, maka usaha untuk menekan jumlah korban jiwa dan kerugian mungkin dapat dilakukan.
Untuk menekan kerugian seperti itu pula, menurut Eko, upaya penelitian
paleotsunami harus ditingkatkan kapasitasnya. Upaya itu tidak lain untuk
mengambil pelajaran dari kejadian masa lalu, termasuk dari penggalian
daerah tsunami dan pengetahuan tradisional yang melingkupinya,
Menurut dia, selama ini penelitian serupa tidak sebanding dengan jumlah
tsunami yang pernah terjadi di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari
jumlah peneliti yang terjun dalam penelitian tsunami yang masih sedikit.
Maka, selain menggali tanah di daerah-daerah yang pernah dilanda tsunami
untuk mencari bukti tsunami purba, Eko pun rajin menggali cerita lokal,
yang mungkin ada kaitannya dengan gelombang besar yang senang masuk ke
daratan itu.
Sumber : google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar